PAMERAN
LUKISAN
: Eka Pranata
Pada
malam pameran lukisan, lampu-lampu di jalanan itu bergemerlapan. Kulihat tuan-tuan
dan nyonya-nyonya melangkahkan kakinya keluar dari kendaraan yang mereka
tunggangi menuju ke sebuah gerbang seperti Plengkung Titus yang dibangun di
ujung Forum Romawi pada tahun 80-an Masehi. Terlihat satu persatu tuan dan
nyonya-nyonya masuk ke dalam gerbang, dan menghilang pada sebuah gedung.
Perlahan
terdengar suara langkah kaki mendekat. Sayup-sayup terdengar suara parau
berbicara.
“Mari
Adrik kita harus segera masuk, pamerannya sepertinya sudah di mulai.”
“Baik,”
jawabku dengan tegas.
Kami
berdua pun melangkahkan kaki kami menuju gerbang yang seperti Plengkung Titus
itu.
“Mari
masuk Adrik,” menghela nafas.
Terlihat
dua orang prajurit sedang berjaga. Mereka berseragam jas militer merah, lengkap
dengan topi hitam dari kulit beruang sambil menenteng sebilah senapan. Kami
berdua pun masuk ke dalam gedung setelah melewati pemeriksaan dari kedua
prajurit yang berseragam jas militer merah itu.
Kulihat
orang-orang memandang kesatu sorot lampu kecil yang bermain di muka
lukisan-lukisan yang mengantung pada sudut-sudut dinding. Tuan-tuan dan
nyonya-nyonya yang datang seperti terpana melihat lukisan-lukisan yang
mengantung di setiap sudut dinding. Para pelayan terlihat sibuk mondar-mandir
mengantarkan makanan dan minuman di atas meja.
Seorang
diri aku terpana menatap sebuah lukisan yang tepat berada di belakang tiang
bangunan yang besar sekali. Terlihat seorang lelaki sedang menyenderkan tubuhnya
pada sebuah pagar kayu yang sudah lapuk, dan reot. Tepat di belakangnya
terdapat seekor kuda. Tampak lemak-lemak di wajah seseorang dalam lukisan itu
telah menyusut tinggalkan kerutan-kerutan menghiasi wajahnya. Membuat seorang
dalam lukisan itu tampak kering dan berkeriput. Badannya yang kering itu
tertutupi oleh sehelai kain yang melekat pada tubuhnya. Kain itu terlihat lusuh
seperti tak pernah ditanggalkan dari tubuhnya yang ramping selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan,
atau mungkin bertahun-tahun. Di tangannya ia memengang seutas tali yang
melingkar pada tangan kirinya. Pada tangan kanannya lelaki itu memengang
secangkir kopi. Dan topi koboi yang telah termakan zaman melekat di kepalanya
menutupi helai demi helai rambutnya. Raut wajah lelaki itu terlihat pucat dalam
lukisan itu.
Seorang
pria itu tepat berdiri di belakangku. Matanya merah. Dari binar bola matanya
tampak berkobar-kobar amarah. Seketika kupalingkan perhatianku dari lukisan itu
dan menghadap kepadanya, raut wajahnya berubah seketika, begitu pula dengan
binar bola matanya.
“Cobe!”
kurangkul ia dengan erat. Ialah sahabatku yang berhasil menjadi seniman besar
di negeri ini. Ia adalah orang yang sangat jenius.
“Kapan
kau datang Ad?”
“Aku
baru saja datang bersama Eddy.”
“Di
mana Eddy?”
“Ia
sedang berkeliling melihat lukisan-lukisanmu yang luar biasa ini Cob. Sungguh
sangat menakjubkan.”
“Terima
kasih Ad. Apakah kau ingin melihat-lihat yang lain?”
Tubuhku
terasa kaku dan seakan enggan untuk berpaling dari lukisan di balik tiang besar
itu. Untuk mengikuti ajakan Cobe.
“Baiklah,
nikmati saja lukisanya. Nanti bila ingin menemui aku, aku berada di depan untuk
berterima kasih kepada pengunjung yang sudah hadir.”
“Baiklah
Cob.”
Ketika
kupalingkan kembali pandanganku terhadap lukisan itu. Ku lihat mata seseorang
dalam lukisan itu mengeluarkan darah. Kuusap kedua bola mataku berkali-kali
masih saja sama apa yang ku lihat. Aku seakan tak percaya, lukisan itu
menangis, menangis darah. Melihat darah aku menjadi teringat akan masa laluku.
Pagi
itu aku bersama keluargaku harus pergi
mengungsi, karena kampung kami di serang oleh sekelompok orang yang memakai
jubah, mereka membawa tombak, serta pedang, dan panah. Mereka memperkosa para
perempuan dan membunuh para suami. Mereka membawa anak-anak pergi untuk
dijadikan budak. Untuk anak-anak gadis mereka menjualnya untuk dijadikan budak
agar dapat melayani hawa nafsu orang-orang berjubah di kota.
Saat
kami sedang melakukan perjalanan untuk mengungsi kami dicegat oleh beberapa
orang berjubah. Mereka lalu memengal leher ayahku tanpa ampun. Kulihat ayahku menangis,
sebelum dipenggal lehernya oleh orang-orang berjubah itu. Dari kedua bola
matanya, mengeluarkan tangis darah. Ibuku diperkosa. Mereka memperkosa ibuku secara
sadis di hadapan adik-adikku serta kakak gadisku yang malang. Lalu mereka
membunuh ibuku. Adik-adik serta kakak perempuanku, mereka dibawa pergi oleh
orang-orang berjubah itu entah kemana. Sedangkan aku bersembunyi di balik
semak-semak. Aku masih sangat muda kala itu umurku mungkin baru 12 tahun.
Kejadian hari itu sangat membekas padaku hingga sekarang. Mungkin sejarah harus
selalu ada pertumpahan darah. Mengapa perlu? Dan mungkin itu akan menjadi
pertanyaan banyak orang.
Kuarahkan
kembali pandanganku kearah lukisan itu, kulihat dengan teliti, ternyata sosok
dalam lukisan itu menyerupai sosok ayahku. Aku dulu memang sempat memberikan
foto ayahku kepada Cobe untuk dilukiskannya sebagai kenang-kenangan, karena
hanya foto itu kenang-kenanganku terhadap keluargaku. Foto itu sudah mulai
buram dan kusam sehingga gambar dalam foto tampak tidak jelas. Apakah cobe
benar-benar melukisnya untukku. Aku tak tahu, mungkin pula lukisan itu hanyalah
sebuah lukisan biasa karya imajinasi Cobe.
Terdengar
langkah kaki seseorang mendekat menghampriku. Lalu menepuk pundakku.
“Adrik,
mengapa sedari tadi kau memandang lukisan ini terus-menerus?”
“Bagaimana?”
“Kamu
sedari tadi kulihat hanya memandang lukisan ini terus?”
“Oh,
mari kita lihat yang lain.”
“Pamerannya
sudah akan segera selesai Ad.”
“Baiklah,
apakah kita akan pulang?”
“Ada
apa denganmu Ad? Kau terlihat aneh sekali.”
“Tidak
ada apa-apa teman, aku baik-baik saja.”
“Mari,
Cobe telah lama menunggumu di depan.”
Kami
berdua datang menghampiri Cobe. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang sedari tadi
berkeliaran memandang lukisan-lukisan, kini telah hilang satu persatu. Tinggal
kami bertiga dalam ruangan itu, serta para pelayan yang terlihat masih saja
sibuk membersihkan sisa makanan para tuan dan nyoya yang datang.
“Bisa
berbicara sebentar Cob?”
“Bagaimana
sahabat?”
“Bisa
bicara sebentar, tentang lukisan di balik tiang itu?”
Cobe
membawaku ke hadapan lukisan itu kembali. Sesampainya di depan lukisan. Aku tak
melihat darah yang sedari tadi keluar dari kedua bola mata seseorang yang ada
dalam lukisan itu.
“Seseorang
dalam lukisan itu seperti ayahku Cob? Apa dia ayahku?” menghela nafas, sembari
memulai percakapan. Cobe terdiam.
Menghela
nafas “Iya Ad, seseorang dalam lukisan itu adalah ayahmu.”
Adrik
tak kuasa menahan air matanya. Tak terasa air mata itu telah mengalir dari
kedua kelopak matanya.
“Apakah
kau melukisnya dari foto yang aku berikan 24 tahun yang lalu?”
“Iya,
aku melukisnya untukmu.”
“Terima
kasih Cob.”
Aku
sebenarnya tidak terlalu ingat bagaimana wajah ayahku, ibuku, adik-adik serta
kakak gadisku. Aku terlalu muda kala itu, sudah terlalu lama rasanya bila aku
harus mengingat kejadian yang merengut nyawa kedua orang tuaku, serta
memisahkan aku dari adik-adikku, serta kakak gadisku yang tak pernah kujumpai
kembali keberadaannya. Mungkin mereka sudah menyusul kedua orang tua kami di
surga.
“Baiklah
Cob, Terima kasih sekali lagi.”
“Apakah
kamu ingin membawa lukisan ini? bawalah dan simpanlah karena lukisan ini dapat
membuat kamu kembali ke masa lalu dengan keluargamu.”
Aku
terdiam sejenak. Bagaimana aku harus selalu mengigat kejadian yang sangat
mengerikan itu, yang merengut kedua nyawa orang tuaku, aku tak dapat membawanya
pulang. Sungguh aku tak sanggup bila harus selalu mengingat kejadian itu.
Sungguh aku tak sanggup.
Cobe
memang tidak mengetahui bahwa aku sedari kecil telah kehilangan keluargaku.
Karena aku tidak pernah bercerita kepadanya, bahwa kedua orang tuaku mati di
bunuh oleh orang-orang berjubah.
“Apakah
kamu ingin membawa lukisan ini pulang?”
“Tidak
Cobe, Terima kasih”
“Bila
kamu ingin lukisan ini, bawalah.”
“Tidak
Cobe, terima kasih banyak. Baiklah aku harus pulang Cobe, Eddy mungkin sudah
lama menunggu.”
“Baiklah,
terima kasih telah datang Ad.”
Malam
semakin melarut, lampu-lampu di jalanan itu masih saja bergemerlapan. Aku dan
Eddy melangkahkan kaki kami keluar dari gerbang yang seperti Plengkung Titus
itu. Udara sangatlah dingin, perlahan-lahan salju pun turun membuat jejak-jejak
langkah kaki kami menghilang tertimpa salju yang turun, dan menyisakan jejak
kaki baru di atas tumpukan salju yang tipis.
Yogyakarta,
12 Januari 2017