DUDUK DI DALAM PERAHU

01:53

DUDUK DI DALAM PERAHU
Cahaya neon raksasa mulai rebah, menenggelamkan dirinya di balik pohon-pohon yang rindang. Semakin lama, cahaya keemas-emasan itu menghilang di balik punggung bukit. Dua orang lelaki sedang duduk di dalam perahu, sambil melempar mata pancingnya ketepi-tepi sungai.
Yah, sudah hampir satu jam kita mancing, tapi belum ada satu pun ikan yang menyambar umpan kita…,” tanya sang anak kepada ayahnya yang terlihat sangat serius memancing.
“Sabar…,” jawab sang ayah sambil melemparkan mata pancingnya.
Terdengar suara serangga malam mengaung-gaung, sedangkan bulan seperti hendak turun dan mencemplung dalam air yang tenang. Cahaya bintang yang kecil seperti kunang-kunang di angkasa.
Nak, bagaimana keadaan di kota? Kuliahmu baik-baik saja kan?” tanya sang ayah sambil menghisap tembakau lintinganya untuk mengusir nyamuk yang mendengung di telingganya sembarih memulai percakapan.
Ya biasa Yah, ramai dengan masalah.”
Masalah apa, Nak? Kamu ada masalah di kota?”
Tidak, Yah…,” jawab sang anak sambil menggelengkan kepala dan tanganya terlihat mengaitkan umpan pada mata pancing.
Terus yang ramai dengan masalah itu siapa?” tanya sang ayah kembali karena penasaran.
Sang anak tersenyum,
Ini Yah, masalah di kota itu banyak sekali, untuk makan saja orang mati-matian berkerja. Sampai ada yang kerjanya cuma jadi peminta-minta, ada yang mencuri, ada pula yang menipu hanya demi makan, Yah, padahalkan menipu itu dosa.”
Ayah menggelengkan kepala sambil menatap anaknya,Ayah ingin kamu menjadi seorang pengajar, entah jadi guru, apalagi bisa jadi dosen.”
Lalu sang ayah tersenyum, Ayah mempunyai mimpi, Ayah ingin kamu menjadi seorang pengajar yang bisa membimbing anak-anak di desa kita agar maju pikiranya.”
Sang anak mengusap kedua bola matanya, Saya ingin menjadi orang yang dapat berguna untuk keluarga, apalagi dapat berguna bagi orang lain.”
Dari kejauhan terdengar suara mesin perahu yang melaju dengan kencang. Gelombang dari perahu tersembut menghempaskan dirinya pada bibir pantai. Perahu ayah dan anak itu terombang-ambing karena gelombang perahu yang melintas.
“Yah, pancing ayah sepertinya disambar ikan.”
Tangan ayah itu begegas menangkap batang pancing yang terlempar di sambar ikan. Ayah itu dengan cepat mengulung tali, tetapi ikan tidak cepat kalah.
Sepertinya ikan besar, Yah?”
“Iya, ikan besar ini.” jawab sang ayah sambil terus menarik dan dengan cepat menggulung tali pancingnya.
Setelah hampir 20 menit ayah itu bertarung melawan ikan, akhirnya ia dapat menaikan ikan ke dalam perahu. Ikan itu ikan baung sebesar betis orang dewasa.
Akhirnya kita dapat ikan juga, Yah.”
Sang ayah tersenyum,Lumayan ada yang dibawa pulang untuk ibumu, Nak,” kata ayah sambil menyapu keringat di keningnya.
***
Hari sudah menunjukan pukul dua belas malam. Suara serangga malam kini tak lagi terdengar, seperti hilang karena ditelan hiruk-pikuk perkotaan yang bising.
Nak, kita pulang saja, Hari telah larut malam, kasian ibumu di rumah sendirian.”
Sang anak mengangguk. Tangan ayah dan anak tersebut mengayunkan pundaknya ke depan, ke belekang dengan cepat. Mereka mengayuh sampan dengan semangat.
Nak, sekarang banyak orang ingin menjadi guru hanya demi mendapat penghasilan tetap setiap bulannya. Mereka lupa tugas dan kewajiban mereka sebagai seorang pengajar. Di kampung kita, banyak guru yang sebenarnya tidak bisa mendidik, tetapi demi uang, mereka tetap mengajar tanpa mementingkan pengetahuan yang diperoleh murid-muridnya.” ucap sang ayah sambil terus mendayung sampan.
“Iya Yah, terkadang orang menjadi guru itu bukan karena panggilan hidup, tetapi karena tuntutan hidup. Apalagi zaman sekarang Yah, di kota orang berlomba-lomba untuk mendapat jabatan. Banyak yang menghalalkan segala cara agar duduk di kursi pemerintahan. Orang-orang yang berpolitik zaman sekarang mengunakan isu SARA pada lawan politiknya agar kalah dalam pemilihan.” sambil melirik ke arah ayahnya.
Bapak mengangguk, berhenti mengayunkan dayung seketika.
Ayah tidak ingin memaksa kamu menjadi seorang guru, walaupun Ayah bercita-cita agar kamu menjadi guru. Terserah kamu dengan apa yang menjadi panggilan hidupmu.” 
Terima kasih Yah. Saya benar-benar ingin jadi seorang guru, supaya tak ada lagi anak-anak yang tak bisa menulis, membaca, menghitung di kampung kita,” ucap sang anak sambil menunduk.
Sang ayah tiba-tiba bertanya kembali. “Apakah politik sebusuk itu, Nak?”
Politik itu tidak busuk Yah, cuma para pelakunya yang berpikiran sempit. Hidup seakan-akan hidup ketika berkuasa. Bahkan, tak jarang para politikus saling memaki satu sama lain. Televisi selalu bersemangat menanyangkan hal-hal yang tak pantas. Itulah permasalahan kota Yah, bagaimana memecahkan masalah sedangkan para politikus justru membuat masalah,” jelas sang anak sambil tertawa, lalu memukulkan dayungnya ke air.
Sang ayah tersentak. “Ternyata masalah itu karna orang  yang berkuasa yang inginkan masalah terus ada dan meraja lela. Mereka mengoyang-goyangkan kakinya sambil meghisap cerutu, menikmati uang rakyat. Sungguh tingkah laku yang kekanak-kanakan.”
            Ya begitulah Yah, masalah akan terus ada jika para pemimpin terus membuat masalah. Masalah akan hilang ketika mereka berhenti membuat masalah, mencari jalan untuk memajukan negara,” ucap sang anak.
Ujung perahu telah menepi, sang anak lalu menambatkan tali perahunya pada tunggul yang di tanam di bibir pantai. Ayah dan anak itu bergegas naik ke daratan. Selama perjalanan  menuju rumah, mereka masih saja bertukar cerita satu sama lain.
Tok… tok…” suara pintu diketuk. Seorang perempuan membukakan pintu.
Ibu, aku dan ayah mendapatkan seekor ikan baung yang besar,” ucap sang anak.
Ibu tersenyum,Mana ikannya?” tanya sang ibu.
Itu dipegang ayah.”
Perempuan itu langsung mengambil ikan baung dari tangan suaminya. “Besar ikannya, Yah.”
“Siapa dulu yang memancing?ucap sang ayah sambil tersenyum.
Siapa dulu Bu yang ikut mancing.” Lanjut sang anak sambil tersenyum melihat tingkah laku kedua orang tuanya. Lalu ia lari masuk ke dalam rumah.
Cahaya bintang yang menyerupai kunang-kunang di langit, kini telah memudar. Awan tampak mengumpal di angkasa. Angin mulai mendayu membawa nada-nada tangis alam, pertanda akan hadirnya tangisan semesta, di susul dengan suara Guntur yang mengelegar.    


Yogyakarta, 19 Oktober 2016

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe