CERPEN "BUJANG"
01:16Dari ufuk timur sang surya menampakan dirinya. Cahaya yang menyerupai neon raksasa itu memancarkan sinar menembus celah-celah dinding rumah tua dari kulit kayu.
Pagi ini, aku akan pergi berburu bersama Minang.
Berbekal sumpit dan mandau di pinggang, tak ketinggalan dengan bubu
yang terbuat dari anyaman bambu.
Kami siap untuk berburu
ditemani seekor anjing. Kami berdua pun bergegas
pergi
berburu.
Kami melewati
jalan setapak yang penuh lumpur serta bukit-bukit hamparan huma. Sinar neon raksasa
masih saja membuat keringat mengucur
deras membasahi tubuh kami. Rasa dahaga dan letih semakin mengelunjak karena terik sinarnya. Aku dan minang memutuskan untuk singgah sebentar di
sebuah sungai di ujung huma. Sungai tersebut sangat tenang.
Di sana hanya ada riak-riak karena terpaan angin. Kami pun mencuci muka, meneguk air di sungai itu. Kucelupkan tangan ke dalam air dan
menadahnya untuk kuteguk.
“Ayo, Minang minum
dulu! Terus isi botol untuk bekal kita di perjalanan.” perintahku sambil mencuci muka.
Minang hanya
mengangukan kepalanya.
Aku
dan Minang pun langsung
bergegas mengisi botol yang kami bawa untuk segera
melanjutkan perjalanan ke hutan.
“Minang, aku pasang bubu dulu ya, kau tunggu di sini!”.
“Kemana kau pasang bubu, Bujang?”.
“Kemana kau pasang bubu, Bujang?”.
“Ke hilir
sungai, kau tunggu aku disini!”.
“Aok!” ucap minang.
“Aok!” ucap minang.
Aku pun menyusuri hilir sungai dan menerabas semak-semak. Aku menemukan lubuk yang
arusnya sangat tenang dengan sebatang pohon yang condong ke arah lubuk itu sehingga tercipta teduh oleh suluet pohon. Aku mencari tanda apakah pernah
dipasang bubu sebelumnya, namun tak kutemukan.
“Wah disini saja
aku pasang bubu, pasti banyak ikan.” pikirku
sambil tersenyum.
Aku memotong
beberapa lembar daun untuk menutupi bubu. Kuangkat pula batu besar untuk menindih bubuku agar
tidak hanyut terbawa arus ketika hujan turun. Aku telah
selesai memasang bubu. Aku bergegas
menghampiri Minang
yang manungguku di hulu sungai. Kami pun melanjutkan perjalanan kami untuk berburu ke dalam hutan.
Dalam perjalanan, kami melewati jalan setapak dan
melewati beberapa sungai. Akhirnya
kami tiba di dalam hutan. Tiba-tiba terdengar suara anjing menyalak. Aku
tahu suara itu, lolongan anjing ynag
memekakan telingga. Dengan perlahan, aku dan Minang bergegas menghampiri arah dari suara anjing itu. Ketika
tiba di sana, Minang terkejut melihat anjing
kami telah terkapar di bawah sebatang pohon yang
seakan-akan bersentuhan dengan awan. Ia
pun memanggilku.
“Bujang, sini!”
kata Minang,
sambil melempar sebatang kayu ke arahku dengan pelan.
“Kenapa Minang?” jawabku terkejut.
“Sini!” ucap Minang. Ia melambaikan tangannya
yang mengisyarakan agar aku cepat datang menghampirinya.
Aku
segera menghampiri Minang
dan menepuk pundaknya. “Ada apa?” tanyaku. Aku sangat terkejut ketika melihat anjingku
mengeram kesakitan.
Ia meronta-ronta. Ada darah yang mengucur dari
tubuhnya. Ada pula
luka di dadanya seperti bekas tertancap
tungul kayu tajam
di huma.
Kami sangat heran, kuamati anjing sekarat yang menanti ajalnya. Tiba-tiba, seekor rusa besar melintas di hadapan kami. Tanduk tajamnya menjulang
tinggi ke atas. Nampak tetesan darah jatuh dari tanduknya.
“Aku tak pernah melihat rusa sebesar ini. Tanduknya
panjang. Mungkin sudah berpuluh-puluh tahun jadi penghuni hutan ini.” pikirku. Aku terus menatap rusa besar itu.
“Minang, jangan bergerak nanti rusanya lari!”
bisikku pada Minang.
“Ya, ya, ya!” sembari mengambil beberapa bulu landak di dalam kampelnya.
“Rusa
itu, sepertinya yang melukai anjing kita, Minang.”
“Pikirku
pun begitu Bujang.”
Perlahan-lahan kuambil sumpit dan kupasang bulu landak
beracun yang telah disiapkan
Minang. Dengan hati-hati kumasukan bulu landak itu ke dalam
sumpit. Kutarik
nafas dalam-dalam, kutempalkan mulutku lalu kutiup sekencang-kencangnya
hingga sumpitnya melesat
ke arah rusa. “Yeah, tepat mengenai
lehernya!”.
Minang sepertinya ingin segera mengejar
rusa itu sambil menarik mandau dari sarungnya, “Kena.., kena..,” ujar Minang.
Sayangnya, rusa itu melonjat sekitar tiga meter. Rusa itu terus meloncat ke kiri,
ke kanan, menabrak semua yang ada di depannya. Aku dan Minang terus melotot karena rusa itu ke arah
kami. Tak aku sangka, Minang langsung memanjat pohon.
Ia mencoba untuk menghindari serudukan binatang itu.
“Hampir saja!” ucap
Minang dengan nafas
terengah-engah.
Di sisi lain, darah rusa menetes dari
leher. Namun, rusa itu tetap berlari kemudian masuk ke semak belukar penuh
duri.
“Bujang,
lihat rusa itu lari ke semak-semak!” sambil
melambai-lambaikan tangannya.
Aku dan Minang tetap menunggu hingga rusa
itu keluar dari semak. Namun, setelah beberapa jam tetap saja aku tak melihat
tanda-tanda kemunculan rusa itu. Tidak mungkin juga, aku dan Minang masuk ke
semak, bukannya takut, tapi membahayakan.
Cahaya
neon raksasa hanya mampu mengintip dari celah-celah
pohon. Hari pun mulai gelap
ditambah dengan rimbunnya pohon
yang membuat suasana semakin mencekam.
“Mari kita pulang, Minang! Hari sudah mulai gelap, rusanya mungkin sudah
mati. Esok kita tengok lagi.”
Minang
mengangukan kepalanya. Ia masih terlihat ketakutan karena nyaris
diseruduk rusa malang tersebut.
Terdengar suara serangga malam menjerit-jerit. Daun-daun seakan
bernyanyi karna di terpa angin malam.
“Dingin sekali malam ini, Minang.” ucapku.
Minang
mulai kelihatan lebih tenang karena kejadian tadi yang hampir merengut nyawa
satu-satunya.“Kalau saja ia terseruduk rusa, bisa kacau!” pikirku.
“Benar
katamu, dingin sekali malam ini.”
Suara
Minang terdengar gemetar karena dinginnya malam.
“Minang,
kita menginap di huma ya, di pondok Enggah Utoi. Waktu kita tidak akan cukup
untuk kembali ke desa.”
***
Setelah sampai di sana, pondok huma milik Enggah
Utoi beratapkan daun, berdindingkan kulit kayu, dan bertiangkan kayu keloban.
Kebetulan Enggah Utoi menginap pula di pondok humanya.
“Enggah, Nggah Utoi” panggilku.
“Oi…” jawab Enggah Utoi.
Ia
sedang menyalakan api di tungku, sambil menanak air.
Ia pun membukakan pintu pondok yang
terbuat dari papan kayu. Tak lupa, ia juga mempersilakan kami untuk masuk ke dalam pondok.
“Kalian berdua mau minum
kopi?” tanya Enggah Utoi sambil mengangkat cerek yang berisi
air mendidih.
“Mau Nggah, aku kedinginan.” sambil kuanggukkan kepala.
“Kau mau kopi, Minang?”
Minang pun menganggukan kepala, badannya
juga gemetar karena dingin udara malam yang menusuk
sampai ke tulang.
“Nggah, tadi kami berdua pergi berburu rusa di dalam hutan. Eh, kami ketemu rusa yang sangat besar. Aku sumpit rusanya pas kena leher, tapi justru lari ke dalam
semak berduri. Kami tak
dapat menemukanya.” ceritaku pada Enggah Utoi.
“Besok, kita cari bertiga saja, sekarang ada baiknya kita istirahat dulu.” kata Enggah Utoi.
Malam
pun semakin meninggi. Suara serangga malam
dan belalang tak lagi terdengar. Hanya suara angin malam menderu-menderu menggoyang pondok kecil yang kami
huni.
***
Sinar neon raksasa telah menunjukan jati dirinya kembali.
Sinarnya menembus atap daun-daun pondok
Enggah Utoi. Dinginnya udara pagi, mengerogoti tubuh kami hingga ke tulang-tulang.
“Wah, dingin sekali pagi ini!” kata Enggah Utoi sambil meneguk kopi dari cawannya.
“Iya Nggah, dingin sekali pagi hari ini.” jawabku yang masih mengenakan sarung.
Minang masih terbaring, suara dengkuranya masih
berkumandang. ia masih tertidur lelap. “Minang, Minang bangun!” sambil kugoyang-goyangkan
badannya. Minang pun bangun
dari tidur, sedangkan aku dan Enggah Utoi telah selesai menyiapkan peralatan
untuk mencari rusa yang kami buru kemarin.
“Cuci muka dulu!” ucap Enggah Utoi ke pada Minang sambil ia
mengelus-eluskan kain ke batang sumpitnya.
Setelah selesai menyiapkan
peralatan, kami sarapan dan
bergegas menuju hutan tempat
kami menyumpit rusa.
“Ayo!” kata Enggah Utoi kepada kami untuk segera membersihkan semak berduri.
Kami bertiga bergegas membersihkan semak-semak
berduri itu. Akan
tetapi, usaha kami gagal karena tidak menemukan jejak si rusa. Kami yakin tidak
salah melihat rusa itu lari ke dalam
semak-semak berduri itu. Selang beberapa jam, tak juga kami
menemukan jejak si rusa. Bekas darahnya pun telah hilang. “Aneh.” pikirku.
Minang mengeleng-gelangkan kepala,
Ia tak percaya jika rusa itu masih selamat.
Padahal, darah mengucur deras dari
lehernya.
“Seharusnya rusa itu mati
karna kehabisan darah.” kata Minang heran.
Kami
terus berkeliling mencari rusa itu.
Hingga
kami bertiga terperanjat melihat seorang laki-laki tua
tanpa busana yang
tergeletak di dalam semak-semak tempat si rusa berlari. Aku dan Minang terbelalak melihat duri dari bulu landak menancap
di lehernya.
Yogyakarta,
16 Juni 2016
0 comments